A. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra, yang memahami fenomena
sastra dalam hubungannya dengan aspek sosial, merupakan pendekatan atau cara
membaca dan memahami sastra yang bersifat interdisipliner. Oleh karena itu,
sebelum menjelaskan hakikat sosiologi sastra, seorang ilmuwan sastra seperti
Swingewood dalam The Sociology of
Literature (1972) terlebih dulu menjelaskan batasan sosiologi sebagai
sebuah ilmu, batasan sastra, baru kemudian menguraikan perbedaan dan persamaan
antara sosiologi dengan sastra. Swingewood (1972) menguraikan bahwa sosiologi
merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat,
studi mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial.
Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan
mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Apa yang diuraikan oleh Swingewood
tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi mengenai sosiologi yang dikemukakan
oleh Soerjono Sukanto (1970), bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan
perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk
mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat. Demikian juga yang dikemukakan
oleh Pitirim Sorokin (Soerjono Sukanto,1969:24), sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial
(misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial
dengan gejala nonsosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain. Baik
sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam
masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari
hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau sosiologi
melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah
tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada; maka sastra
menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia
menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan
personal (Damono,1979). Swingewood (1972) memandang adanya dua corak
penyelidikan sosiologi yang mengunakan data sastra. Yang pertama, penyelidikan
yang bermula dari lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra dengan
faktor di luar sastra yang terbayang dalam karya sastra. Oleh Swingewood, cara
seperti ini disebut sociology of
literature (sosiologi sastra). Penyelidikan ini melihat faktor-faktor
sosial yang menghasilkan karya sastra pada masa dan masyarakat tertentu. Kedua,
penyelidikan yang menghubungkan struktur karya sastra kepada genre dan
masyarakat tertentu. Cara kedua ini dinamakan literary of sociology (sosiologi sastra).
Dalam paradigma studi sastra, sosiologi
sastra, terutama sosiologi karya sastra, dianggap sebagai perkembangan dari
pendekatan mimetik, yang dikemukakan Plato, yang memahami karya sastra dalam
hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pandangan tersebut
dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas
dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang pernah
dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono (1979), salah seorang ilmuwan yang
mengembangkan pendekatan sosiologi sastra di Indonesia, bahwa karya sastra
tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara
sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya
sastra pun harus selalu menempatkannya dalam bingkai yang tak terpisahkan
dengan berbagai variabel tersebut: pengarang sebagai anggota masyarakat,
kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan dalam melahirkan
karya sastra, serta pembaca yang akan membaca, menikmati, serta memanfaatkan
karya sastra tersebut.
B.
Karya
Sastra dalam Perspektif Sosiologi Sastra
Sebagai pendekatan yang memahami,
menganalisis, dan menilai karya sastra dengan mempetimbangkan segi-segi
kemasyarakatan (sosial), maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra
tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang otonom, sebagaimana pandangan
strukturalisme. Keberadaan karya sastra, dengan demikian selalu harus dipahami
dalam hubungannya dengan segi-segi kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai
salah satu fenomena sosial budaya, sebagai produk masyarakat. Pengarang, sebagai
pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat.
Dalam menciptakan karya sastra, tentu dia
juga tidak dapat terlepas dari masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang
digambarkan dalam karya sastra pun sering kali merupakan representasi dari
realitas yang terjadi dalam masyarakat. Demikian juga, pembaca yang menikmati
karya sastra. Pembaca pun merupakan anggota masyarakat, dengan sejumlah aspek
dan latar belakang sosial budaya, politik, dan psikologi yang ikut berpengaruh
dalam memilih bacaan maupun memaknai karya yang dibacanya. Bertolak dari hal
tersebut, maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra antara lain
dapat dipandang sebagai produk masyarakat, sebagai sarana menggambarkan kembali
(representasi) realitas dalam masyarakat.
Sastra juga dapat menjadi dokumen dari
realitas sosial budaya, maupun politik yang terjadi dalam masyarakat pada masa
tertentu. Dalam karya sastra, misalnya novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis,
kita dapat menemukan gambaran mengenai kehidupan kaum pribumi dalam pergaulannya
dengan orang-orang Eropa pada masa kolonial Belanda, melalui tokoh Hanafi dan
Corrie. Di samping itu, sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan
nilai-nilai ataupun ideologi tertentu pada masyarakat pembaca. Ideologi
nasionalisme, misalnya tampak disampaikan dalam novel Salah Asuhan. Tokoh
Hanafi yang terombang ambing dalam posisinya sebagai pribumi yang mendapat
pendidikan di sekolah untuk anak-anak Eropa dan ingin disamakan kedudukannya
dengan orang-orang Eropa di Hindia Belanda agar dapat menikah dengan Corrie,
menunjukkan lunturnya nasionalisme pada orang-orang pribumi pada masa kolonial
Belanda.
Sastra juga sangat mungkin menjadi alat
melawan kebiadaban atau ketidakadilan dengan mewartakan nilai-nilai yang
humanis. Novel Sitti Nurbaya, misalnya melawan tradisi yang biasa dijalankan
kalangan bangsawan Minangkabau pada tahun 1920-an dalam berpoligami, seperti
tampak pada dialog antara Sutan Mahmud dengan kakak perempuannya, Rubiah.
Uraian berbagai macam varian sosiologi sastra pada bab berikutnya, akan
menjelaskan berbagai macam perspektif sosiologi sastra dalam memandang
keberadaan karya sastra. Selain itu juga memberikan gambaran bahwa sosiologi
sastra memiliki bermacam-macam varian, dengan fokus kajian yang berbeda-beda.
C.
Hubungan
antara Sastra dengan Lingkungan Sosial, Iklim, Geografi, dan Lembaga Sosial:
Johan Gottfried von Herder dan Madame de Stael
Di samping dikenal sebagai seorang
kritikus, Herder juga dikenal sebagai seorang penyair, yang termasuk dalam
periode klasik sastra Jerman (Damono, 1979:19). Gagasan pentingnya mengenai
sastra yang mendasari perkembangan sosiologi sastra adalah pendapatnya bahwa
setiap karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis
tertentu. Faktor lingkungan sosial dan geografis yang berhubungan dengan karya
sastra, menurut Herder adalah iklim, lanskap, ras, adat istiadat, dan kondisi
politik. Di samping itu, Herder juga mengunakan sejarah sebagai acuan untuk
menganalisis sastra, sebaliknya sastra juga digunakan untuk memahami sejarah (Damono,
1979:19). Hubungan antara sastra dengan iklim, geografi, dan lingkungan sosial
juga dikemukakan oleh Madame de Stael
(1766-1817), seorang kritikus dan sastrawan Perancis. Bukunya yang berjudul De la Literature dans ses Rappaorts avec les
Institutions Sociales membicarakan hubungan antara sastra dengan lembaga
sosial: agama, adat istiadat, dan hukum terhadap sastra (Damono, 1979:20). Di
samping itu, Stael (via Damono, 1979:20) juga menyatakan bahwa sifat-sifat
bangsa juga sangat penting peranannya dalam perkembangan sastra.
Sifat-sifat bangsa ditentukan oleh
hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai lembaga sosial seperti agama,
hukum, dan politik. Untuk menjelaskan hubungan tersebut, Stael mencontohkan
kasus di Italia. Menurutnya, di Italia novel tidak berkembang sebab di negeri
tersebut orangorang terlampau angkuh dan tidak menghargai wanita. Menurutnya,
novel hanya bisa berkembang di dalam masyarakat yang memberikan status cukup
tinggi kepada wanita, dan yang menaruh perhatian besar terhadap kehidupan
pribadi. Hubungan antara karya sastra dengan iklim, geografi, lingkungan
sosial, bahkan sifat-sifat suatu bangsa, seperti dikemukakan oleh Stael
menunjukkan bahwa keberadaan, ciri-ciri, dan perkembangan sastra tidak dapat
dilepaskan dari subjek pencipta dan masyarakat pembaca yang menikmatinya, yang
dibentuk oleh kondisi alam dan lingkungan sosial budayanya. Artinya, konteks
sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan perkembangan sastra suatu bangsa.
D.
Karya
sebagai Refleksi Sosial
Karya sastra menurut Swingewood adalah
dokumen sosiobudaya yang dapat digunakan untuk melihat suatu fenomena dalam
masyarakat pada masa tersebut. Inilah yang kemudian diistilahkan sebagai
dokumentasi sastra yang merujuk pada cerminan jaman. Swingewood mengutip
pernyataan Luis De Bonald yang beranggapan bahwa dengan melakukan close reading terhadap suatu karya
sastra ‘nasional’, akan diketahui pula apa yang berlaku pada masyarakat
tersebut. Demikian juga pernyataan Stendhal bahwa novel adalah “mirror journeying down the high road” (Swingewood,
1972: 13). Lebih jauh, Swingewood menempatkan karya sastra sebagai refleksi
langsung (cerminan) berbagai aspek struktur sosial, hubungan kekeluargaan,
konflik kelas, trend lain yang mungkin muncul, dan komposisi populasi.
Selanjutnya, karya sastra diposisikan sebagai sentral diskusi yang
menitikberatkan pada pembahasan intrinsik teks dengan menghubungkannya terhadap
fenomena yang terjadi pada saat karya tersebut diciptakan. Mengutip Lowenthal, Literature and The Image of Man (1957), Swingewood menjelaskan bahwa
menghubungkan pengalaman tokoh imajiner dengan sejarah, tema, dan gaya adalah
cara yang paling relevan untuk mengetahui keterkaitan karya sastra dengan
pola-pola kemasyarakatan yang terletak di luar teks; “it is the task of sociologist
of literature to relate the experience
of the writer’s imaginary characters and
situations to the historical climate from which they derive. He has to
transform the private equation of theme
and stylistic means into social equations” (Swingewood, 1972: 14).
Daftar Pustaka:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar